ROBERT T. Kiyosaki mungkin layak dikecam bagi sebagian orang yang masih mempercayai institusi pendidikan formal. Betapa tidak, ia dengan sangat terbuka menyatakan bahwa pendidikan formal selamanya tidak akan pernah menciptakan seorang kaya! Lebih lanjut , ia secara terang-terangan menyarankan agar kita tidak membiarkan anak-anak kita tersentuh dan terlibat lebih jauh dengan sistem pendidikan konvensional yang cenderung konservatif.
Milyader keturunan Jepang ini memang punya sejumlah pengalaman unik, yang melandasinya untuk menarik kesimpulan semacam itu. Dalam salah satu bukunya , Rich Dad, Poor Dad, ia mencoba membandingkan dua orang yang ia anggap ayahnya. Ayah yang pertama (ayah kandungnya -pen) merupakan orang yang berlatar pendidikan tinggi. Namun, ternyata bekal keilmuannya yang sangat mumpuni itu tak mampu menyelamatkannya dari jeratan hutang, karena kebutaannya dalam masalah finansial. Kondisi bertolak-belakang dengan ayahnya yang kedua (ayah dari sahabatnya, yang dianggapnya seperti ayah kandungnya sendiri -pen). Meski hanya mengenyam pendidikan menengah, namun dengan kemampuannya, yang disebut oleh Robert sebagai melek finansial ini, menjadikannya kaya. Ia memutar dan mengelola uang secara piawai.
Robert mungkin terkesan terlalu menyedehanakan masalah, saat ia mencoba mengkorelasikan latar pendidikan formal dengan pemberdayaan finansial seseorang. Namun, bisa jadi hal ini menjadi poin penting yang ingin diungkapkannya, dan ternyata tidak sesederhana yang kita pikirkan.
Ini tak lain adalah soal ide dan kreatifitas, yang sering kali tidak mendapat ruang yang cukup luas pengembangannya di institusi pendidikan formal. Saya, dan mungkin juga Sobat, kerap merasakan bahwa institusi pendidikan formal lebih mirip penjara, bahkan lebih menakutkan lagi.
Sebuah anekdot mengatakan, di penjara kondisinya lebih baik, karena disana Sobat tidak diwajibkan untuk membaca dan membeli buku-buku yang dikarang atau dimiliki para sipir. Sedangkan di kampus yang terjadi sebaliknya. Para dosen, dengan kuasa otoritatifnya, seringkali memaksa para mahasiswa untuk membeli dan membaca buku-buku karangannya.
"Semangat tinggi akan selalu mendapat perlawanan keras dari pemikiran biasa-biasa saja."
Kita pun merasakan bahwa sebagian besar waktu yang dihabiskan di institusi pendidikan formal (sekolah, kampus, dsb) lebih banyak dialokasikan untuk merangsang otak kiri, bagian otak yang kita pergunakan untuk berhitung, menganalisis dan fungsi berpikir rutin lainnya, hingga bagian ini jauh lebih berkembang dibandingkan otak kanan kita yang lebih banyak berfungsi sebagai pabrik kreatifitas, menjadi tumpul.
Setiap hari, melulu otak kita disuguhi teori yang telah siap saji, mapan, juga pemikiran-pemikiran para pakar yang sesungguhnya telah usang, seperti teori evolusi Darwin yang telah kehilangan daya dukung ilmiahnya, dan masih banyak lagi. Kampus ataupun sekolah bisa jadi merupakan tempat yang paling dihindari oleh para pemikir kreatif, seperti Thomas A. Edison.
Selayaknya, kampus dan sekolah menjadi ajang pesta gagasan baru setiap hari. Tak perlu menyita waktu banyak, cukup 15 menit saja para mahasiswa atau murid dipersilahkan untuk melakukan presentasi dan analisis kritisnya mengenai teori-teori dari para pakar, atau bahkan biarkan mereka mensintesis teorinya sendiri.
Gagasan yang keluar dari mereka barangkali terkesan janggal, aneh, bahkan mungkin tak masuk akal. Biarkan saja. Tidak menutup kemungkinan, suatu saat pemikiran-pemikiran semacam itulah yang akan mempengaruhi perkembangan peradaban kita.
Bukankan ide untuk menggunakan nuklir untuk terapi kesehatan terdengar aneh? Atau gagasan membangun jalan layang dengan pondasi menyerupai cakar ayam di daerah berpasir tidak tergolong biasa? Bahkan, ide untuk memproses ketela menjadi bahan bakar adalah sebuah refleksi yang memberikan fakta-fakta pada kita bahwa kreatifitas yang mendapat ruang dan kesempatan yang cukup luas untuk mewujudkan eksistensinya, adalah keniscayaan dalam belajar.
Seperti kata Albert Einstein, "Semangat tinggi akan selalu mendapat perlawanan keras dari pemikiran biasa-biasa saja."
Milyader keturunan Jepang ini memang punya sejumlah pengalaman unik, yang melandasinya untuk menarik kesimpulan semacam itu. Dalam salah satu bukunya , Rich Dad, Poor Dad, ia mencoba membandingkan dua orang yang ia anggap ayahnya. Ayah yang pertama (ayah kandungnya -pen) merupakan orang yang berlatar pendidikan tinggi. Namun, ternyata bekal keilmuannya yang sangat mumpuni itu tak mampu menyelamatkannya dari jeratan hutang, karena kebutaannya dalam masalah finansial. Kondisi bertolak-belakang dengan ayahnya yang kedua (ayah dari sahabatnya, yang dianggapnya seperti ayah kandungnya sendiri -pen). Meski hanya mengenyam pendidikan menengah, namun dengan kemampuannya, yang disebut oleh Robert sebagai melek finansial ini, menjadikannya kaya. Ia memutar dan mengelola uang secara piawai.
Robert mungkin terkesan terlalu menyedehanakan masalah, saat ia mencoba mengkorelasikan latar pendidikan formal dengan pemberdayaan finansial seseorang. Namun, bisa jadi hal ini menjadi poin penting yang ingin diungkapkannya, dan ternyata tidak sesederhana yang kita pikirkan.
Ini tak lain adalah soal ide dan kreatifitas, yang sering kali tidak mendapat ruang yang cukup luas pengembangannya di institusi pendidikan formal. Saya, dan mungkin juga Sobat, kerap merasakan bahwa institusi pendidikan formal lebih mirip penjara, bahkan lebih menakutkan lagi.
Sebuah anekdot mengatakan, di penjara kondisinya lebih baik, karena disana Sobat tidak diwajibkan untuk membaca dan membeli buku-buku yang dikarang atau dimiliki para sipir. Sedangkan di kampus yang terjadi sebaliknya. Para dosen, dengan kuasa otoritatifnya, seringkali memaksa para mahasiswa untuk membeli dan membaca buku-buku karangannya.
"Semangat tinggi akan selalu mendapat perlawanan keras dari pemikiran biasa-biasa saja."
Kita pun merasakan bahwa sebagian besar waktu yang dihabiskan di institusi pendidikan formal (sekolah, kampus, dsb) lebih banyak dialokasikan untuk merangsang otak kiri, bagian otak yang kita pergunakan untuk berhitung, menganalisis dan fungsi berpikir rutin lainnya, hingga bagian ini jauh lebih berkembang dibandingkan otak kanan kita yang lebih banyak berfungsi sebagai pabrik kreatifitas, menjadi tumpul.
Setiap hari, melulu otak kita disuguhi teori yang telah siap saji, mapan, juga pemikiran-pemikiran para pakar yang sesungguhnya telah usang, seperti teori evolusi Darwin yang telah kehilangan daya dukung ilmiahnya, dan masih banyak lagi. Kampus ataupun sekolah bisa jadi merupakan tempat yang paling dihindari oleh para pemikir kreatif, seperti Thomas A. Edison.
Selayaknya, kampus dan sekolah menjadi ajang pesta gagasan baru setiap hari. Tak perlu menyita waktu banyak, cukup 15 menit saja para mahasiswa atau murid dipersilahkan untuk melakukan presentasi dan analisis kritisnya mengenai teori-teori dari para pakar, atau bahkan biarkan mereka mensintesis teorinya sendiri.
Gagasan yang keluar dari mereka barangkali terkesan janggal, aneh, bahkan mungkin tak masuk akal. Biarkan saja. Tidak menutup kemungkinan, suatu saat pemikiran-pemikiran semacam itulah yang akan mempengaruhi perkembangan peradaban kita.
Bukankan ide untuk menggunakan nuklir untuk terapi kesehatan terdengar aneh? Atau gagasan membangun jalan layang dengan pondasi menyerupai cakar ayam di daerah berpasir tidak tergolong biasa? Bahkan, ide untuk memproses ketela menjadi bahan bakar adalah sebuah refleksi yang memberikan fakta-fakta pada kita bahwa kreatifitas yang mendapat ruang dan kesempatan yang cukup luas untuk mewujudkan eksistensinya, adalah keniscayaan dalam belajar.
Seperti kata Albert Einstein, "Semangat tinggi akan selalu mendapat perlawanan keras dari pemikiran biasa-biasa saja."
Posting Komentar
Jadilah orang bijak, untuk tidak spamming dalam komentar.