Ini bukan bahasan mengenai hukum relativitas, atau postulat relativitasnya Einstein. Tapi lebih dari itu semua, kombinasi rasa dan pemikiran yang telah lama bernaung mengisi di setiap langkah-langkah kehidupan kita dalam menyikapi setiap kejadian.
Keinginan untuk terus eksis, tak ketinggalan, menang dalam berbagai hal, dll. Adalah proses dari pembentukan / penyempurnaan kredibilitas kita di dunia. Saya tidak beranggapan dunia sepenuhnya relatif, tapi saya lebih dalam melihat dunia adalah sesuatu yang subjektif.
Kalau kita lebih jauh flashback, bahwa adanya kita di dunia dimulai aksi-reaksi Adam dan Hawa, lalu dilanjutkan penetrasi 'rasa' yang menjelma menjadi hubungan yang lebih rumit, dan mungkin mereka berdua tidak pernah mengetahui sebelumnya cara untuk menggumamkan kata Cinta.
Banyak unsur relativitas dalam molekul-molekul cinta sebelum mendominasi kita untuk terikat pada sesuatu yang kita cintai. Dasar pengikatnya adalah rules of timing, dimana kita tidak akan pernah tahu kapan 'seharusnya' jatuh cinta. Di sini, 'seakan' cinta berlaku subjektif. Padahal jika kita resapi lebih dalam apa sebenarnya mau kita terhadap diri kita sendiri, mudah saja.
Sobat yang budiman.
Saya gemar sekali membaca novel, entah itu novel lokal atau karya luar. Saat saya (kita) melakukan apa yang kita sukai, waktu terasa cepat sekali lajunya, termasuk membaca novel yang tebalnya hampir lima ratus halaman. Tapi, saat kita membaca kitab suci kita sendiri, terasa waktu seperti merayap pelan, padahal hanya puluhan ayat, apatah lagi untuk mengkajinya. Oleh karena itu, saya pernah menduga feeling ada kaitannya dengan relativitas (dugaan=feeling). Semua sesuai feeling-nya. Bijak saja tidak cukup untuk bilang "Ya" pada apa yang tidak ketahui ataupun suka, dibutuhkan ratusan bahkan ribuan alasan untuk menekan perasaan kontra kita dalam hal ini. Belum lagi terkait dengan akal (pikiran) kita, yang ikut hadir memberikan kontribusi yang tak kalah pentingnya bagi pilihan-pilihan di depan kita.
Komentar sobat sekalian amat membantu dalam memecahkan perihal ini.
Keinginan untuk terus eksis, tak ketinggalan, menang dalam berbagai hal, dll. Adalah proses dari pembentukan / penyempurnaan kredibilitas kita di dunia. Saya tidak beranggapan dunia sepenuhnya relatif, tapi saya lebih dalam melihat dunia adalah sesuatu yang subjektif.
Kalau kita lebih jauh flashback, bahwa adanya kita di dunia dimulai aksi-reaksi Adam dan Hawa, lalu dilanjutkan penetrasi 'rasa' yang menjelma menjadi hubungan yang lebih rumit, dan mungkin mereka berdua tidak pernah mengetahui sebelumnya cara untuk menggumamkan kata Cinta.
Banyak unsur relativitas dalam molekul-molekul cinta sebelum mendominasi kita untuk terikat pada sesuatu yang kita cintai. Dasar pengikatnya adalah rules of timing, dimana kita tidak akan pernah tahu kapan 'seharusnya' jatuh cinta. Di sini, 'seakan' cinta berlaku subjektif. Padahal jika kita resapi lebih dalam apa sebenarnya mau kita terhadap diri kita sendiri, mudah saja.
Sobat yang budiman.
Saya gemar sekali membaca novel, entah itu novel lokal atau karya luar. Saat saya (kita) melakukan apa yang kita sukai, waktu terasa cepat sekali lajunya, termasuk membaca novel yang tebalnya hampir lima ratus halaman. Tapi, saat kita membaca kitab suci kita sendiri, terasa waktu seperti merayap pelan, padahal hanya puluhan ayat, apatah lagi untuk mengkajinya. Oleh karena itu, saya pernah menduga feeling ada kaitannya dengan relativitas (dugaan=feeling). Semua sesuai feeling-nya. Bijak saja tidak cukup untuk bilang "Ya" pada apa yang tidak ketahui ataupun suka, dibutuhkan ratusan bahkan ribuan alasan untuk menekan perasaan kontra kita dalam hal ini. Belum lagi terkait dengan akal (pikiran) kita, yang ikut hadir memberikan kontribusi yang tak kalah pentingnya bagi pilihan-pilihan di depan kita.
Komentar sobat sekalian amat membantu dalam memecahkan perihal ini.
Posting Komentar
Jadilah orang bijak, untuk tidak spamming dalam komentar.