Saat PILIHAN menjadi PASIF

Menurut saya, pada dasarnya manusia mempunyai kesempatan untuk mendapatkan pilihan. Pilihan untuk hidupnya, sekaratnya, bahkan matinya. Hingga pada suatu keadaan, manusia diberikan soal-soal untuk menetukan arah pilihan tersebut. Langkah komitmen pun merupakan satu paket yang harus dijalankan untuk mendapatkan pilihan yang absolut.

Ada beberapa hal yang menggelitik pemikiran saya dalam meraih kesempatan memilih ini. Cotoh dalam hal ini adalah, keadaan dimana orang tua yang bertugas mengayomi anak-anaknya adalah langkah pertama untuk mengakuisisi ke-orangtuaannya. Konsep ini menarik, karena dengan mengambil model konsep seperti ini, secara sadar atau pun sebaliknya mereka berlaku subjektif.

Seperti yang kita ketahui, subjektivitas adalah suatu paham. Di mana dalam kandungannya terdapat banyak molekul-molekul yang mengarah pada partikel-partikel konservatif, kenaifan, egoisme, otoriter dan sejenisnya. Mungkin tak se-keras itu saya menggambarkan konsep ini. Namun, yang saya ingin kemukakan adalah, ‘akankah lebih baik konsep ini mengalami perubahan’, yah..mungkin mengikuti perkembangan zaman. Orang tua lebih terlihat bijak jika mereka berlaku objektif dalam membimbing putra-putrinya, dengan terlebih dahulu saling mengayomi di antara mereka (suami-istri). Mungkin itulah langkah awal yang harus diambil oleh para orang tua.

Saya, sama seperti manusia lainnya yang serta merta memiliki sisi gelap dalam bersikap demi menentukan pilihan. Dan, saya sama sekali tidak mempunyai alasan untuk bertindak meng-GURU-i para pembaca yang terhormat. Karena pada akhirnya, tindak-tanduk berbau senioritas tidak akan terpakai lagi pada era kini.

Pembaca yang bijak, menjadi orang tua adalah hasil dari proses yang dimulai sejak menjadi seorang cucu dari kakek, anak dari bapak, bapak seorang anak, pun kakek seorang cucu. Semua manusia memiliki kesempatan untuk ‘terpilih’ menjadi orang tua, tidak terkecuali saya. Namun, dari kalimat di atas, kata ‘terpilih’ merupakan kata pasif yang berarti memiliki batasan atas objek. Analoginya seperti ini, saat beberapa kesatuan manusia terpilih untuk menjadi orang tua pada dasarnya mereka memiliki tugas atas anak-anak yang terpilih pula. Lalu, di mana kebenarannya? Orang tua yang memilihkan kehidupan untuk anaknya, atau anak yang memilih jalan hidupnya sendiri?.

Sebagai anak, saya menyadari orang tua hanya mencarikan jalan yang terbaik untuk anak-anaknya. Tapi, kadang orang tua bingung membedakan jalan yang ‘terbaik’ menurutnya dan jalan ‘terbaik’ berlandaskan objektivitas.

Ada contoh kasus seperti demikian; Ada orang tua yang lupa akan usia anaknya yang sudah dewasa yang juga dapat mewakili kapabilitas dari si anak tersebut. Hingga pada akhirnya, orang tua tersebut hanya menerima sikap-sikap kontroversi dari si anak. Didikkan yang tertanam sejak kecil dari orang tua dianggap oleh orang tua hilang begitu saja ditelan lingkungan. Padahal, anak sebodoh apapun bukan berarti ia gila. Gila itu sendiri adalah lupa, khilaf, tak sadar. Jadi anak terbodoh bukan berarti ia lupa, khilaf, tak sadar bahwa ia pernah diberikan petuah oleh orang tua.

Agama, adalah ‘salah satu’ pegangan dalam menjalani hidup di dunia, serta pencarian bekal untuk kehidupan selanjutnya. Agama manapun yang hak mengajarkan satu falsafah yaitu “Kebaikan”. Definisi mengenai agama pun amat luas, dan saya memberikan keluasan pada pembaca untuk mendeskripsikan menurut pemahaman masing-masing.

Menjadi orang beragama dilihat pada kontribusi masyarakat sekarang adalah; lahir dari orang tua beragama “A” lalu mengikuti jejak orang tua untuk menganut agama “A”. Apakah pernah terpikir oleh para orang tua ‘kepercayaan’ apa yang dianut oleh si anak?. Dalam arti, di saat anak tersebut melalui proses transisi menjadi seorang yang baligh (dewasa), anak itu mencari sesuatu. Proses itu tidak terjadi begitu saja. Peran lingkungan dalam masyarakat pun memberikan sumbangan yang tidak sedikit dalam membentuk pemikiran si anak. Tahapan pencarian kepercayaan kepada Tuhan ini tidak bisa dipaksakan pada saat anak itu telah dewasa. Dimulai dari pencarian definisi sampai dengan jatuh hati pada suatu kepercayaan.

Orang tua hanya perlu yakin, apa yang dilakukan anaknya tidak melenceng jauh dari apa yang diharapkan. Si anak hanya menginginkan kepercayaan yang dianutnya, adalah kepercayaan yang lahir dari proses pemikiran serta pencarian selama ini. Bukan agama turunan.

Dan, substansi dari masalah ini adalah Pilihan. Seberapa berhak anak diperbolehkan memilih yang terbaik menurutnya untuk kehidupannya kelak?

Karena pada dasarnya. Jika saja anak boleh memilih, ia tidak ingin ‘dilahirkan’ ke dunia ini.


2 komentar:

goodfather mengatakan...

Saya akan menanggapi pendapat anda tentang subjektivitas orangtua. jangan-jangan anda sendiri terjebak pada subjektivitas itu sendiri bahwa anda mempunyai dunia berbeda, yang menurut anda mungkin lebih baik daripada orangtua. saya menggarisbawahi pada kata baik sebagai suatu kriteria yang secara hakekat bersifat hakiki. jadi menurut saya bagaimanapun bentuk perubahan kondisi/zaman, secara hakiki tetap sama. oleh karena itu, tinggal kedua belah pihak melihat secara bijak dua hal yang kelihatannya kemasan berbeda tapi hakikatnya sama, ok

elanoor Nizam mengatakan...

goodfather: manusiawi memang jika semua orang bersikap subjektif memerankan pentasnya di dunia, yang tanpa mereka sadari sikap itu sesungguhnya hanya Tuhan yang punya.
Itulah sebenarnya yang saya maksud!, agar jalan kebijakan dapat diambil oleh keduanya, sehingga tidak ada konsep berkesan berat sebelah. trims.

Posting Komentar

Jadilah orang bijak, untuk tidak spamming dalam komentar.

Copyright © Beranda Kita - Blogger Theme by BloggerThemes